Strategi Kurangi Impor BBM

Pemerintah kaji Pertamina Dumai produksi Green Diesel

ilustrasi

Beritariau.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong PT Pertamina (Persero) memproduksi Bahan Bakar Ramah Lingkungan berupa Green Diesel guna mengurangi impor minyak mentah di dalam negeri.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, bahan baku dari green diesel dari minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO). Nanti minyak kelapa sawit akan diolah di kilang Pertamina.‎

"Jadi at least dengan adanya green diesel ini tidak perlu lagi impor solar. Dengan begitu ada penghematan dari impor karena diganti dengan CPO,” ujar dia di Jakarta, dilansir dari okezone, Senin (15/10/18)..

Menurut dia, kualitas bahan bakar green diesel lebih bagus dibandingkan dengan solar maupun biosolar.Pasalnya, kadar sulfur dari green diesel lebih rendah dibandingkan dengan biosolar sehingga tidak bersifat korosif.

"Green diesel lebih bagus, tidak seperti Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Sedangkan FAME kan dicampur,” ujar dia.

Terkait pengolahan green diesel, nanti akan diolah di kilang Pertamina. Namun, sejauh ini karena pengolahan green diesel masih dalam kajian.

Meski begitu, terdapat dua kilang berpotensi dikembangkan menjadi kilang ramah lingkungan, yaitu Kilang Plaju dan Kilang Dumai.

"Saya terima laporan dari Pertamina, apakah mengubah atau convert sebagian eksistingkilang atau revamping kilang atau membangun yang baru, masih dalam kajian,” ujarnya.

Dia mengatakan, pengembangan green diesel merupakan langkah pemerintah melakukan pengadaan energi ke depan tanpa harus mengandalkan impor minyak mentah.

Pasalnya, pasokan CPO seluruhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri.

"Pasokan green diesel itu dapat dipenuhi dari domestic based supply. Jadi source-nya itu dari dalam negeri untuk mengurangi impor crude-nya,” kata dia.

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menjelaskan, pengembangan green diesel saat ini masih menunggu hasil studi kelayakan (feasibility study/ FS).

Selanjutnya akan ditentukan apakah bahan bakar ramah lingkungan tersebut diolah dengan membangun kilang baru atau cukup menggunakan kilang eksisting. Menurut dia, kajian Pertamina membutuhkan waktu sekitar empat bulan.

"Pertamina saat ini sedang melakukan feasibility study. Artinya Pertamina sedang melakukan kajian apakah memungkinkan diolah di kilang lama atau butuh membangun kilang baru menunggu hasil kajian,” kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengapresiasi langkah Pertamina mengembangkan green diesel. Pihaknya meminta pemerintah betul-betul menjamin pasokan CPO.

Tak hanya itu, Pertamina juga harus menyiapkan pengolahannya. Karena pengolahan green diesel berbeda dengan biodiesel.

"Pembuatan green diesel perlu fasilitas hydro treating process tersendiri, tidak sama dengan kilang pengolahan biodiesel. Artinya perlu investasi tambahan untuk kilang produksi green diesel,” ujar dia.

Fabby juga menyoroti terkait harga. Menurut dia, harga green diesel bisa lebih mahal atau sama ketimbang biodiesel. Dia mengatakan, harga green diesel akan ditentukan berdasarkan feedstock, CPO, atau vegetable oil.

"Kuncinya adalah stabilitas pasokan dan harga feedstock untuk menjamin biaya produksi yang kompetitif dengan harga solar,” kata dia.‎ [red]